Selasa, 04 Desember 2012

Would you be my girlfriend (again)?




Setelah beberapa kali dia memaksaku untuk bertemu dan menyelesaikan masalah kami berdua, akhirnya hari ini tiba.  Dia memintaku untuk meluangkan sedikit waktuku hanya untuk sekedar bertemu dan menyelesaikan masalah kami.
Aku mengabari dia untuk datang ke kostnku, dia hanya mengatakan, 
“ok tunggu”.

Aku menunggu dia, hingga akhirnya beberapa menit kemudian ada bbm masuk berisi 
“aku didepan kostn”. 

Langsung saja aku mendatanginya.  Diluar sedang hujan, aku melihat dia basah kuyup didepan kostn.  Dia mengajakku pergi, dia pikir aku menyutujui ajakannya untuk menyelesaikan masalah ini di kostn dia.  Aku ajak dia masuk ke kostn, setelah dia memarkirkan motornya, aku memimpin jalan, entah kenapa ketika aku akan menaiki tangga pertama dia menarik tanganku dan memelukku.  Aku memandang dia keheranan 
“kamu kenapa?”
 dia menjawab 
“kamu masih pacar aku kan? Boleh kan aku meluk kamu?”

Au hanya membalas dengan senyuman.  Sesampainya dikamar kostn kami duduk berjauhan, obrolan kami berawal dengan kalimat 
“apa yang mau kamu omongin” kalimat itu terlontar dari bibirku. 
  
Kami berdua sama-sama melontarkan maksud masing-masing.  Dia tak henti-hentinya menghisap rokok yang baru saja dia bakar, kegiatan itu terus berulang.
Aku tidak bisa menjawab pertanyaan dia secara langsung.  Aku sadar omonganku ini berputar-putar dan bertele-tele.  Aku tau dia hampir bosan mendengarkan semua ocehanku yang kian muter-muter seperti rute angkutan umum.  Akhirnya keluar dari bibirnya, memastikan tentang hubungan kita ini.  Aku memberanikan diri untuk berbicara apa yang ada didalam pikiran dan di hatiku.

Bibir ini rasanya kelu. 
Aku tidak bisa mengatakan ini semua, tepatnya aku belum siap untuk mengakhiri semuanya.  
Aku masih butuh dia, aku masih sayang dia.

“Aku rasa, aku cape menghadapi situasi seperti ini.  Kamu tidak pernah sedikit pun menghargai dan menjaga perasaanku, Aku tidak bisa bayangkan, semakin lama aku menahan semua ini, entah aku akan kuat atau tidak menghadapi semua.”  
Tanpa aku sadari dada ini rasanya sakit, air mata ini rasanya mengerti harus kapan menetes.
“Jadi kita putus?”
Aku hanya bisa diam, tidak ada sepatah kata pun keluar dari mulutku.

“Ayo jawab, please” ujar dia mengiba

Dia tepat duduk didepanku, posisi dia lebih rendah dariku, karena aku disitu posisinya duduk diatas kasur, sedangkan dia duduk dilantai menghadapku.  Tiba-tiba dia memelukku, tepatnya melingkarkan tangannya dipinggangku dan mendaratkan kepalanya di belakang punggungku.  Aku tidak bisa melihat apa yang sedang dia lakukan, yang jelas tangannya yang melingkar dipinggangku tiba-tiba mengencang, aku bisa merasakan emosi yang coba dia tahan.

Dia melepaskan pelukannya dan menatapku.  Mata kami berdua saling berpandangan.  Aku lihat matanya mulai memerah dan berair.

“Sini” aku memeluknya.

“Aku nggak mau buat mengakhiri semua ini” ujarku

Dia melepaskan pelukannku dan menatapku tajam

“Please aku nggak mau liat kamu” ujarku memohon

“Please, if you really want to cry, cry in front of me”

Akhirnya aku mengatakan semuanya, aku tidak sanggup melihat matanya, meskipun tanpa aku sadari air mata ini terus menerus menetes.  Tanpa aku sadari air matanya pun menetes kencang, matanya semakin memerah.

Aku tahu ini berat, rasanya kekuatan yang sudah aku siapkan untuk membicarakan semua mendadak melemah.  Aku masih menyayanginya, aku butuh dia.

Ya udah kalau itu mau kamu, aku terima, aku tahu kamu menopang beban yang sangat berat, menahan semua kesakitan yang seharusnya nggak pernah kamu rasain, aku nggak bisa memaksa kamu untuk tetap disamping aku, menguatkanku, yang jelas, apapun keputusanmu aku terima, aku tidak akan memaksakan, aku nggak mau dikemudian hari kamu merasa menyesal.  Kamu tahu aku sayang banget sama kamu, rasa sayang aku sama kamu sama seperti aku sayang dia.” Ujarnya.

“Aku tahu rasa sayang kamu ke aku sama rasa sayang kamu kedia itu beda, aku bisa liat dari cara kamu menjaga perasaan dia, semata-mata nggak mau dia marah.” Ujarku membalas.

“Mana mungkin aku sayang ke kamu dan aku ke dia itu beda, kamu berhasil buat aku patah arang seminggu ini, aku nggak pernah dapet lagi morning call nggak pernah dapet lagi perhatian kamu, cerewetnya kamu, bandelnya kamu, aku nggak bisa konsen seminggu ini, tidur pun selalu menjelang pagi, makan pun nggak teratur, itu semua kenapa? Aku kepikiran kamu.”

Aku memasang muka heran

“Kalau itu mau kamu, aku terima, kamu tau sebutuh apa aku kekamu, sesayang apa aku ke kamu, kalau emang kita harus putus, aku bakalan tetep sayang kamu, aku bakalan tetep butuh kamu, walaupun kita Cuma temen.”

Dia tidak bisa menyembunyikan air mata dia yangs sejak tadi memaksa untuk keluar.

“Aku nggak apa-apa kok, ini mataku kelilipan siraru”

“Oh iya ya” aku coba mengiyakan.

Dia membalikan badannya dan mulai merokok lagi.  Aku berbaring di kasur, rasanya perih sekali hati ini, aku menutup mukaku dengan bantal.  Dia yang keheranan melihatku mencoba membukakan bantal,

“kamu kenapa?”

Dia berbaring disampingku, wajah kita berhadapan sangat dekat.  Sudah lama tidak pernah merasakan ini.  Dia memelukku erat, melepaskan pelukannya dan kembali menatapku tajam.  Entah mengapa aku ingin sekali memutar lagu yang mewakili situasi malam ini.  Bibirnya mulai menyentuh bibirku, dia menciumku.  Ketika aku play mp3 di handphone ku, bibirku dan bibirnya serasa kaku, bibir atasku berada di tengah mulutnya, tidak kami tidak berciuman. 

Dia terdiam ketika lagu keane – this is the last time dimulai, 
This is the last time
That I will say these words
I remember the first time
The first of many lies
Sweep it into the corner
Or hide it under the bed
Say these things they go away
But they never do
Something I wasn't sure of
But I was in the middle of
Something I forget now
But I've seen too little of

The last time
You fall on me for anything you like
Your one last line
You fall on me for anything you like
And years make everything alright
You fall on me for anything you like
And I no I don't mind

This is the last time
That I will show my face
One last tender lie
And then I'm out of this place
So tread it into the carpet
Or hide it under the stairs
Say that some things never die
Well I tried and I tried

Something I wasn't sure of
But I was in the middle of
Something I forget now
But I've seen too little of

The last time
You fall on me for anything you like
Your one last line
You fall on me for anything you like
And years make everything alright
You fall on me for anything you like
And I no I don't mind

The last time
You fall on me for anything you like
Your one last line
You fall on me for anything you like
And years make everything alright
You fall on me for anything you like
And I know I don't mind

Seolah-olah dia sedang mendengar dengan jelas setiap lirik dan meresapi setiap liriknya.  Bibir kami kaku, kelu, rasanya semua urat menegang, rahangku rasanya mendadak kaku.  Rasanya dada ini sakit sekali, pedih, aku dan dia melampiaskan emosi kita masing-masing. 
Air mata ini memaksa untuk menetes deras, aku merasakan dia mecoba menahan setiap gerakannya.  Aku mendengar tangisan dia yang kian mengeras, sepertinya dia tidak bisa menahan kesakitan yang aku rasakan juga.  Baru kali ini aku melihat dia menangis, setau ku dia orang yang sangat kuat.  Namun Air matany lebih deras dariku.

“Ya Tuhan, jahatkah aku? Menyiksa dia sampai seperti ini?” Ucapku di dalam hati.

Aku coba menenangkan dia yang sejak tadi terlihat tidak bisa mengendalikan emosinya, emosinya sangat meletup-letup.  Tuhan maafkan aku.

Dia berpura-pura bisa mengontrol emosinya.  Aku mencoba menghapus air matanya yang sejak tadi terus menerus menetes.  Aku mencoba menenangkan diri dan juga menenangkan dirinya, tak henti-hentinya aku mengucapkan

“maaf, maaf, maaf”

“I’m ok, don’t worry, now you’re free, kamu bisa memilih seseorang yang nggak menyakiti kamu seperti aku.  You have my body; even we’re broke-up.  Terima kasih untuk 3tahun ini, aku bisa merasakan rasa sayangmu.  Aku bakalan selalu sayang sama kamu.”

Aku mengecup pipinya,

“Tuhan, aku bisa rasakan sakit yang dia rasakan” ujarku dalam hati.

Aku masih sayang dia, aku tau rapuhnya dia, setiap aku membahas mengenai hubungan kami, air matanya selalu memaksa menetes meskipun aku tau dia selalu menahan air matanya untuk keluar.

“Peluk aku”

“Boleh aku cium kening kamu? Untuk terakhir kalinya?”

Aku mengangguk, tak aku sadari air mataku menetes lagi.

Apa kami sama-sama tidak bisa untuk berpisah? Apa kami berdua sama-sama rapuh? Kami berdua sama-sama belum siap untuk hidup kembali seperti semula sebelum kami bertemu.  Apa ini cinta dan sayang yang sesungguhnya? Ini dimana aku benar-benar tahu, apa tangis dia yang tersedu-sedu itu adalah ekspresi sakit dia? Aku ingat dia bilang, “Kamu orang pertama yang bisa membuat aku tidak bisa berpikir, otakku rasanya berhenti berpikir.”

Tuhan entah bagaimana kelanjutan cerita kami berdua, entah engkau akan pisahkan kami atau bahkan menyatukan kami hamba ikhlas, hamba ridho, itu jalan yang sudah Engkau pilih untukku.


“Would you be my girlfriend?”
“Yes, I would”
:)

Minggu, 25 November 2012

Keane - This Is The Last Time



This is the last time
That I will say these words
I remember the first time
The first of many lies
Sweep it into the corner
Or hide it under the bed
Say these things they go away
But they never do

Something I wasn't sure of
But I was in the middle of
Something I forget now
But I've seen too little of

The last time
You fall on me for anything you like
Your one last line
You fall on me for anything you like
And years make everything alright
You fall on me for anything you like
And I no I don't mind

This is the last time
That I will show my face
One last tender lie
And then I'm out of this place
So tread it into the carpet
Or hide it under the stairs
Say that some things never die
Well I tried and I tried

Something I wasn't sure of
But I was in the middle of
Something I forget now
But I've seen too little of

Could I stop these rightnow dear?

Could I Stop these Rightnow?
“Saat semua ini harus aku akhiri, meski berat, hidup ini pilihan, dan aku pun harus memilih, begitupun kau”



Entah untuk kesekian kalinya hati ini rasanya terobek-robek, lebih tepatnya “dia” yang telah merobek-robek hatiku. 
AKU memang yang kedua, namun apakah harus selalu aku yang merasa 

Terpojokkan?

 Terasingkan? 

Adakah sedikit saja rasa ibamu, empatimu,
untuk sekali saja 

Memprioritaskan aku dibanding kekasihmu?
 
Mendahulukan aku dibanding kekasihmu? 

Mementingkan perasaanku dibanding kekasihmu?

Gunakanlah hati terdalammu untuk menjawab itu semua. 

Kemana kalimat yang sering kali kau ucapkan padaku

“Aku takut menyakitimu” 

“Jika Kamu sakit, begitupun aku”

Semua itu nampaknya sekarang hanya butiran kata-kata sampah yang seharusnya tidak pernah aku dengarkan dari mulut pahitmu yang sengaja kau lumuri madu agar terasa manis, namun semua itu PALSU.

Hingga saat ini masih saja kan kau pasang foto mesra dengan kekasihmu itu, tanpa kau pernah merasa dan mengerti bagaimana perasaanku tiap kali chatting denganmu melihat diujung kanan atas itu terpampang foto kalian berdua.  

Apa kamu itu buta?

Mati rasa?

Pura-pura bodoh? Atau memang kamu bodoh?

Dimana hati kamu yang tempo hari kamu bilang sakit bila aku sakit, MANA???
Itu Cuma bullshit belaka, kamu nggak pernah benar-benar ngerasa sakit ketika hati ini menjerit kesakitan kan?, ketika kepala ini rasanya mau meledak karena mimikirkanmu, kamu tidak pernah tau itu kan? Karena hati kamu memang bukan untukkku, sedikit pun rasa untuk perduli perasaanku pun rasanya tidak ada. 
Selama ini aku diam, bukan berarti aku baik-baik saja.  Salah bila kamu beranggapan aku baik-baik saja dan tidak pernah lagi mempermasalahkan soal foto mesra kamu dengan kekasihmu.  Aku hanya ingin tau, seberapa peka kah kamu terhadap aku, dan seberapa sakitkah kamu yang katanya merasakan juga kesakitanku.

Sekarang yang hanya ingin aku ucapkan hanya

“Could I stop this rightnow?” 


Toh aku tidak diperlukan dalam hidupmu, bahkan berharga pun sepertinya tidak.
Tidak ada artinya sedikit pun untuk kamu dan hidupmu.  Mungkin sosok kekasihmu saja yang selalu kamu butuhkan dan selalu ada untukmu, membantumu baik perhatian, moril atau bahkan materi sekalipun. 

Aku sudahi sampai disini, terima kasih untuk semua kasih sayangmu selama empat tahun berjalan ini, rasanya perjalanan cinta yang sangat panjang.  Terima kasih untuk semua pelajaran hidup yang sangat berarti, semua kejadian yang pernah kita alami, aku jadikan semua sebagai pelajaran dan pengalaman indahku (meski sebenarnya terkadang menyakitkan). 
Terima kasih telah menemaniku disaat aku kesepian
Menguatkanku ketika aku rapuh
Membangunkanku ketika aku terjatuh
Menghapus setiap air mataku ketika aku menangis
Memukulku ketika aku salah
Memarahiku ketika aku susah diatur
Memelukku ketika aku resah
Membantuku ketika aku susah
Menjadi pegangan ketika aku goyah

Semua terasa indah sayang
Apa kamu ingat kita pernah menghabiskan satu nasi bungkus berdua? Kamu menyuapiku dengan tanganmu, menggendongku dari lantai tiga?

Semua mungkin hanya jadi cerita sekarang, mungkin ceritamu dengan kekasihmu lebih indah dari pada cerita kita.

I’ll miss that moment J just follow your heart dear, continue your live, keep your heart, keep your beloved girl friend, don’t be lie.

Forgive me, Love you so much dear :*

Jumat, 23 November 2012

aku sudah teruji, kuat



Sering kali mimpi buruk menghantuiku disetiap malamku.  Kamu bilang ketakutanmu terlalu lebay hingga kamu bermimpi aneh-aneh tentang aku dan sahabatmu sendiri.  Tapi semua kemungkinan bisa saja terjadi, seperti kamu dan adik kelas yang kita ospek bersama, itu yang pernah aku takutkan toh benar-benar terjadi kan? Dan aku pikir wajar saja bila pikiranku dan ketakutanku ini menjadi satu paket yang bisa dibilang LEBAY.  Kamu seharusnya tahu, ketakutanku akan kehilanganmu ini teramat besar, belum lagi memang aku ada dibangku cadangan yang bisa kapan saja kamu depak.  Aku cukup sadar diri untuk menjadi yang kedua diantara kalian, aku sangat mengerti posisiku seperti apa, dan aku sangat mengerti kapasitasku akan dirimu seperti apa.  Entah karena apa aku masih saja bisa menerimamu lagi, dengan segala cerita buruk yang menyertai dibelakangnya. 
 Aku korban perselingkuhan dan aku pun tersangka perselingkuhan, apa ini memang karma? Hukum alam? Yang mengharuskan aku membalas semua kesalahanku dimasa lalu? Membayar semua kejahatanku di masa lalu? Akuu bayar semua kontan dengan semua tektek bengek yang tak pernah aku sadari.  Dalam waktu bersamaan kamu bisa menjalani dengan empat orang perempuan dan kamu berhasil mengobrak abrikan hatiku yang disitu masih diposisi kedua dihatimu (eh lebih tepatnya orang kedua yang kamu ajak berkomitmen untuk menjalani hari-hari bersama) entah bagaimana dengan perempuan ketiga atau bahkan keempatnya.  Aku sama sekali tidak ingat kronologi yang pasti mengenai hubungan kamu dengan 3 perempuan lain selain aku, yang pasti aku sudah menyaksikan semua didepan mata kepalaku sendiri.  Dan yang terakhir aku saksikan adalah  ketika temanku memaksaku untuk mengantarnya ke sekertariat dan aku terkejut melihat kepalamu sedang diusap oleh seorang perempuan yang aku tahu dia siapa, sakit rasanya, seperti dipanah tepat dihatiku, spontan aku lari dan menghabiskan semua kekesalanku sendiri, bahkan teleponmu tak kunjung aku jawab, ini lebih perih dari apapun juga, entah apa salahku hingga kesakitan ini kamu beri padaku kontan.  Hatiku hancur sehancur-hancurnya, berarti ini kali ke 3 aku diselingkuhi olehmu, lebih perih lagi setelah kejadian itu kamu melintas tepat dihadapanku bersama perempuan biadab tadi.  Tanpa ada rasa bersalah, tanpa ada penjelasan, semua seperti berakhir begitu saja, kita anggap semua berakhir disitu.
                Aku memang perempuan yang baru saja kamu ajak berkompromi bersama 4 tahun kebelakang ini, melewati hari bersama, mencuri sedikit waktu-waktu mu yang seharusnya kamu habiskan dengan kekasihmu, kini kamu bagi itu untuk sekedar bersamaku setiap hari nya.  Mencuri perhatianmu, mencuri semua yang seharusnya kamu berikan itu seutuhnya untuk kekasihmu.  Meskipun waktu bersama aku dengan kamu dan kamu dengan dia lebih lama, dia tau semua tentang kamu, kebiasaan kamu, keburukan kamu, kedekatannya dengan orang tuamu dibanding aku, namun aku yakin, kamu lebih jujur kepadaku dibandingkan kepadanya,***