Senin, 20 Desember 2010

peluk



Peluk
By Dewi Lestari

Ada keanehan yang menyembul dan keluar dan kini menguasai pikiranku, yang membuat aku berjarak dengan diriku sendiri dan memunculkan satu tanya “mengapa kulakukan ini?”.

Keanehan lain muncul, yakni jawaban muncul dengan sendirinya tanpa proses berpikir : memang ini jalannya. Itukah yang dinamakan firasat? Menahun sudah aku tahu, hari ini akan tiba. Tapi bagaimana bisa pernah kujelaskan? Aku menyayangi mu seperti kusayangi diriku sendiri. Bagaimana bisa kita ingin pisah dengan diri sendiri?

Barangkali itulah mengapa kematian ada, aku menduga. Mengapa kita mengenal konsep berpisah dan bersua. Terkadang kita memang harus berpisah dengan diri sendiri : dengan proyeksi. Diri yang telah menjelma menjadi manusia yang kita cinta.

Sedari tadi kamu seperti orang kesakitan, merangkul erat badanmu sendiri dengan mulut terkatup rapat dan rahang mengencang.  Aku ingin bilang, aku paham kenapa kamu sakit.  Namun tak sepatah kata pun keluar.  Aku ingin bilang, aku sakit melihat kamu sakit.  Namun bungkusan udara ini memberangus mulut kita berdua.

Mengapa kata-kata justru hilang pada saat seperti ini? Saat kulihat kamu butuh penghiburan, nasihat bijak, atau humor segar agar kesedihan ini beroleh penawar? Kemampuan kita berkata-kata menguap. Kemampuan melucu lenyap. Kebisuan menjadi hadiah kebersamaan kita bertahun-tahun. Aku ingin bilang, berbarengan dengan makin pilunya hati ini, ada keindahan yang kurasakan dan aku mengerti mengapa bisa demikian.

Pandangan mata kita yang sedari tadi berlari-lari mulai berani menemukan satu sama lain. Rasanya kita sama-sama tahu, entah kapan lagi tatapan seperti ini terjalin. Tak mungkin kulupa caramu memandangku, dan tak mungkin kau lupa bagaimana semua ini bermula. Aneh. Pada saat kita mungkin berbalik dan menutup pintu, mendadak ruangan yang kita tinggalkan memunculkan keindahan yang selama ini entah bersembunyi dimana.

Tanganmu bergerak bimbang seperti ingin meraih tangaku, tapi kau urungkan niat itu. Dua manusia yang sudah bercinta bertahun-tahun dan merasakan setiap jengkal kulit masing-masing, mendadak enggan untuk bersentuhan.

“Habis ini lalu apa? Kamu sendirin. Aku sendirin. Buat apa? Kenapa tidak berdua lagi saja?”

Suaramu pertama dalam setengah jam terakhir.

Mulutku refleks membuka, ingin menjawab. Tapi tak ada bunyi yang keluar. Aku tak tahu jawabannya. Aku tidak tahu sesudah ini lantas terjadi apa. Aku tidak tahu kenapa dua manusia yang saling sayang harus kembali berjalan sendiri-sendiri.

Namun kurasa hatimu tahu, seperti hatiku pun tahu. Jika mala mini kita memutuskan untuk terus bersama, itu karena kita tidak tahu bagaimana menangani kesendirian. Aku tidak ingin bersamamu Cuma karena enggan sendiri. Kau tidak layak untuk itu. Seseorang semestinya memutuskan bersama orang lain karena menemukan keutuhannya tercermin, bukannya ketakutannya akan sepi.

Apa artinya cinta yang tidak lagi sama, yang kamu sebut-sebut sejak tadi itu? Memang cinta itu ada berapa macam?” tanyamu dengan nada meninggi.  Air mata yang tadi sudah reda tampak siap-siap melancarkan serangan lanjutan.  Entah berapa gelontor lagi yang bakal tiba.  Mendadak aku lelah karena harus menjelaskan variasi cinta macam pedagang yang mempresentasikan katalog produk.

Aku tidak tahu cinta mempunyai berapa varian. Kau harus bertanya pada hatiku, karena dialah yang satu hari menutup dan mengucap: “cukup”. Dia berkata “aku tidak lagi jatuh, jaln ini sudah jadi jalan lurus. Teruskan maka aku mati, karena takdirku adalah jatuh. Bukan berjalan di setapak datar apalagi mendaki”.

Hati adalah air, lalu aku menyimpulkan. Baru mengalir jika mengulir dari tempat tinggi ke tempat lebih rendah. Ada gravitasi yang secara alamiah mengiringinya. Dan jika peristiwa jatuh hati diumpamakan air terjun, maka bersama mu aku sudah merasakan terjun, jumpalitan, lompat indah. Berkali-kali. Namun kanal hidup membawa aliran itu kesebuah tempat datar, dan hatiku berhenti mengalir. Siapa yang mengatur itu? Aku pun tidak tahu. Barangkali kita berdua, tanpa kita sadari. Barangkali hidup itu sendiri sehingga sia-sia menyalahkan siapa-siapa.

Aku ingin mengalir, hatiku belum mau mati. Aliranini harus kembali memecah dua agar kita sama-sama bergerak. Sebelum kita terlalu jengah dan akhirnya pisah dalam amarah.

Yang kutahu, cinta itu tersendat, dan hatiku seperti mau pengap. Kendati kusayang kamu lebih dari siapapun yang kutahu. Kendati bersamamu senyaman berselimut pada saat hujan. Aku aman. Namun aku mengerontang kekeringan. Dan kini kutersadar, aku buth hujan itu. Lebih dari apapun.

“Kamu akan menyesal…” gumammu lagi

Mungkin. Kini kita tidak mungkin tahu.

“Enam tahun. Kita buang enam tahun itu begitu saja?” retorikal dan getir, kamu bertanya.

Kamu bukan tisu sekali pakai. Kita tidak mungkin membuang apapun jika kita percaya hati bukan diperuntukkan untuk menyimpan. Otakku merekam dan menyimpan kamu, kita dan enam tahun ini. Hati tidak pernah menyimpan apa-apa. Ia menyalurkan segalanya. Mengalir, hanya mengalir. Namun kata-kata membeku di ujung mulutku seperti stalaktit dan stalagmite. Tampak dinamisa dalam konsep tapi tak bergerak.

“Ngomong donk!” tiba-tiba suaramu meledak murka.

Bentakanmu seperti aba-aba perwira yang menggerakkan kedua tanganku untuk tahu-tahu merengkuhmu. Reflek yang tak kusangka akan muncul.

Tubuhmu berontak. Kurasakan amarah mu, sakitmu. Kupererat rengkuhannku. Tangan mu meronta, berusaha melepaskan diri. Wajahmu kautarik menjauh, segala macam cara kau kerahkan untuk bebas dari pelukkanku. Namun aku bertahan.

Rasakan, bisikku dalam hati. Panas tubuh kita berdua mencairkan yang sudah beku bertahun-tahun. Rasakan betapa lamanya kita terlelap dan membiarkan aliran itu padam. Begitu terbiasa kita memamandangi taring-taring es itu sehingga menjadi layaknya aksesoris ruangan, padahal kita sudah mau mati kedinginan, kekeringan. Kamu tak layak didera. Kamu tak layak disiksa.

Berangsur, tubuhmu tenang. Otot-otot mu yang tegang mulai melemas, lelah meronta dan lunglai pasrah dalam pelukanku. Kau mulai menangis. Aku mulai menangis. Lengan mu perlahan mulai mendaki dan balik mendekapku. Kita resmi berpelukan.

Cukup lama tubuh kita terpaut hingga kata-kata yang menggantung beku mulai mencair dan mengalir ke dalam darah kita masig-masing. Hatimu tahu, seperti hatikupun tahu. Nadi kita menenyutkan pesan-pesan yang tahunan sudah menanti utnuk bersua. Inilah keindahan yang kumaksud. Kejujuran tanpa suara yang tak menyisakan ruang untuk dusta. Sakit ini tak terobati dan bukan untuk diobati. Dan itu jugalah keindahan yang kumaksud. Rasakan semua. Demikian pinta sang hati. Amarah atau asmara. Kasih atau pedih, segalanya indah jika memang tepat pada waktunya. Dan inilah hatiku, pada dini hari yang hening. Bening. Apa adanya.

Hati-hati, lenganku melonggar, melepaskan tubuhmu. Aku tahu aku telah dimengerti, meski sekali saja pelukanku.

Aliran ini memecah. Indah. Meski aku berbalik pergi dan tidak akan kembali.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar